Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 28
Kamis, 09 Januari 2020
Tulis Komentar
Masa masa KKN 1.1
Saya ingin bercerita menyampaikan tentang apa yang dulu pernah terjadi. Bukan untuk meminta teman-teman (pembaca) menghakimi atau mengasihani saya, biarkan nanti hari akhir yang menghakimi saya dan biarkan hari akhir nanti yang mengasihani saya. Tentunya jika saya masih mendapat Karunia-NYA dan Ampunan-NYA.
Saya hanya ingin berbagi kisah kemana kaki ini pernah melangkah, mata ini pernah melihat apa saja dan diri ini pernah berbuat apa saja. Kisah yang terukir hitam dan putih, baik dan buruk yang saya rangkum semoga ada hikmah yang bisa diambil.
Saya sebagai penulis dan pelaku bahkan berharap kisah ini hanya fiktif belaka. Sekali lagi saya hanya ingin berbagi..
"Hari ini kumpul di samping auditorium yang deket rektorat jam 9 pagi"
Sms dari Rahmat yang saya baca dari hp.
Pagi itu saya meninggalkan sahabat saya yang masih pada tepar tiduran di rumah. Tidak sempat pamit ke mereka semua tapi saya letakan sarapan 4 nasi bungkus diatas meja ruang tamu, itu cara saya berpamitan ke sahabat saya. Meninggalkan sarapan, hanya sarapan. Karena dari kebiasaan mereka nanti pasti sms saya "kok rokoknya gak sekalian".
"Weh.. uda pada kumpul nih"
Sapa saya ke kelompok KKN yang sudah berkumpul lengkap.
"Fad mata lo merah tuh. Habis mendem yak semalem haha"
Tegur Ivan yang memperhatikan saya.
Saya menjawab ocehan Ivan dengan senyuman. Beberapa peserta KKN ada yang belum saya kenal. Untuk menghilangkan rasa canggung saya berkenalan dengan mereka. Salah satu peserta yang bernama Desti ini menyita perhatian saya. Wanita berdarah Makassar, berkulit putih, mata sendu, bibir tipis, rambut agak sedikit kecoklatan mungkin keseringan main layang-layang, mengenakan kemeja lengan pendek berwarna putih, memakai rok selutut berwarna hitam dan kaki yang jenjang. Sungguh pas perpaduan sama kecantikannya.
"Ini cewek kok saya gak pernah lihat ya? Gila aja secantik ini tapi saya gak pernah lihat di kampus." Gumam saya dalam hati.
Pagi hari ini aku menjadi pemuja mu, memuja paras kecantikan pada dirimu.. jika harus berbuat dosa besar, maka biarkanlah aku membuatnya bersama mu. Tidak, tidak.. aku ingin cara yang lain, cara yang benar. Aura mu telah menghipnotis akal sehatku untuk berpikir. Melihatmu, seakan diri ini lupa telah menyandang status berpasangan dengan orang lain (Gina). Ingin rasanya aku bersenandung rasa bersama mu. Rasanya itu tidak akan pernah terjadi. Tapi aku tidak akan peduli, di tempat KKN nanti kamu hanya dan harus dekat dengan aku, walaupun hanya sementara. Tidak ada kesempatan bagi laki-laki lain. Termasuk pasanganmu sendiri jika kamu sudah mempunyai pasangan. Sudah terbakar hati ini! Karena kamu seperti simbol kecantikan dan kesempurnaan.. dan hanya boleh dimiliki satu orang.
Selama Rahmat menjelaskan kegiatan KKN disana nanti ngapain saja, saya masih asik memandang Desti yang duduk tak jauh dari posisi saya. Yang saya ingat dari penjelasan Rahmat sebagai ketua kelompok KKN hanya soal proker nanti dibahas dan dibikin disana. Sesuai apa yang desa butuhkan nanti.
"Tuan, apakah tuan menyukainya?", saya mendengar suara noni bertanya ke saya. Sepertinya dia tau apa yang saya pikirkan.
"Tidak, saya hanya mengaggumi kecantikannya.."
Balas saya dalam hati.
"Seperti tuan mengaggumi wujud saya yang saya tunjukan ke tuan? Kalau benar, maka katakan lah Subhanallah. Karena dia ciptaan ALLAH SWT yang maha segalanya", ucapan noni yang saya dengar tapi tidak melihat wujudnya dia ada dimana.
"Subhanallah..."
Tanpa sadar saya berucap begitu dengan posisi masih memandang Desti. Langsung seketika semua teman-temen menoleh ke arah saya.
"Kampret! Lo kemari cuman ngeliatin desti doang?? Hahaha", ledek Ivan yang menyadari saya dari tadi memperhatikan Desti. Teman-temen yang lain ikut ketawa kecuali Desti. Mungkin Desti merasa tidak nyaman atas apa yang membuat teman-teman tertawa.
"Fad besok sabtu bisa kan??"
Tanya Rahmat ke saya.
"Hee bisa apa ini besok sabtu?"
Balas saya tanya balik yang tidak tau.
"Elaahh... ini anak. Nanti masih ada waktu kenalan lebih lanjut sama Desti haha."
Sahut Aldi.
"Jadi besok sabtu kita survey ke tempat lokasi KKN. Kamu tadi menganggukan kepala, setuju. Nanti naik mobilnya Ivan. Aku, kamu dan Ivan yang berangkat. Semua iuran untuk bensinnya. Baik yang berangkat, maupun tidak", ucap Rahmat ketua kelompok KKN.
"Van naik mobil mu yang jeep kan? Awas loh kalau pakai mobil kamu yang pickup!", perintah saya ke Ivan. Karena ini anak susah ditebak, kadang bercandanya suka kelewatan.
"Bereeesss..!"
Sahut Ivan sambil nyengir.
Hari sabtu pagi sekitar jam 10an kami bertiga meninggalkan kota Semarang menuju ke Pekalongan. Ivan menepati janjinya, kita berkendara memakai mobil jeep nya Ivan yang beratapkan kanvas. Bekal yang dibawa perjalanan Pekalongan saat itu bisa dikatakan berlebihan. Seperti perjalanan jauh saja. Perjalanan menuju kota Pekalongan kami tempuh kurang lebih tiga jam, kami berhenti di warung makan dekat stasiun Pekalongan. Warung makan milik pak dan bu Sugi yang kedepannya saya mengenal baik sama pemilik warung ini (di part warisan. Part yang ceritanya maju ke depan). Kami mengisi perut dan sekalian bertanya alamat desa KKN yang akan kami tuju.
"Mas kalau mau ke desa ****** ini lewatnya mana ya?"
Tanya Rahmat ke putra pemilik warung.
"Wah mas nya kebablasan (terlewat) jauh ni mas kalau mau arah sana. Mas nya kembali lagi ke arah..."
"Jauh banget mas emang??"
Belum juga selesai menjelaskan, Ivan sudah memotong pembicaraan dengan pertanyaan.
"Arahnya itu desa ke selatan mas. Ya kalau dari sini kurang lebih 3 jam mas. Itu desa hampir dekat sama perbatasan Banjarnegara."
"Saya gambarin rute nya saja nanti dijalan mas-mas nya bisa nanya lagi sama warga."
"Oke, suwun mas"
Jawab kami serempak.
Selesai mendengar penjelasan dan gambar rute arah ke desa tujuan kami berpamitan. Melanjutkan perjalanan lagi. Menuju ke arah selatan.
"Gak salah nih desa KKN kita kok sejauh ini?" Tanya saya setelah melihat rute yang di gambarkan dan ada tulisan kurang lebih 3 jam perjalanan kepada Rahmat dan Ivan yang duduk di depan.
"Ya nanti kita liat dulu aja gimana itu tempat. Baru kita memutuskan!"
Ucap Ivan yang lagi nyetir.
"Hah maksud mu Van? Kalau gak memungkinkan mau nyari joki gitu??"
Balas Rahmat mempertanyakan dan menebak maksud Ivan.
"Yoi bro...betul gak Fad ? Hehe"
Jawab Ivan.
Saya masih diam tidak menjawab, masih melihat gambar rute yang ada tulisan kurang lebih 3 jam. Perjalanan kami nyasar tanya ke orang sana-sini. Bahkan dari desa Kajen ke tujuan desa yang kami tuju masih jauh. Sudah hampir dua jam perjalanan ini. Jalan yang tadinya lurus dan beraspal sekarang berubah berkelak-kelok naik-turun bergelombang dan berkerikil. Untung naik jeep coba kalau naik mobil pickup? Bisa dibayangkan gimana goncangannya di dalam kabin. Apa lagi tidak membawa muatan di bak nya. Pemandangan yang ditawarkan cukup indah bagi kami menemani perjalanan menuju tujuan. Rindangnya pepohonan hutan pinus dan perkebunan di bukit-bukit membuat hawa yang tadinya gerah menjadi sejuk. Saya dan Rahmat secara pribadi juga baru tau kalau di Pekalongan ada tempat sejuk seperti ini. Sedangkan Ivan yang pendatang juga mengaggumi alam desa ini.
Lebih dari 4 jam akhirnya kami sampai di tujuan. Lamanya perjalanan kami karena tidak tau nya medan dan baru pertama kalinya kami kesini. Desa ******, Kecamatan P*t*ng******* adalah salah satu desa yang berada paling ujung selatan di Kabupaten Pekalongan. Desa ini juga dikenal dengan sebutan desa di atas awan karena setiap hari selalu diliputi kabut dan berhawa dingin.
Desa terpencil yang berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegera dan berada di sabuk pegunungan Dieng. Untuk sampai ke tempat ini harus melewati hutan pinus dan hamparan ladang dengan jalan naik turun yang belum beraspal.
"Van kalau ada warung makan atau toko mampir berhenti ya. Sekalian nanya rumah pak kadesnya dimana", semudah itu Rahmat berucap sambil makan kacang atom.
"Kenapa gak sekalian kita nyari salon atau tempat spa?? Aje gile... lo ngeliat noh di depan yang ada cuma pohon-pohon pinus sama kebun", balas Ivan sewot.
Baru berjalan beberapa meter Ivan sudah nyeletuk lagi, "tuh ada kuburan. Kali aja ada kang gali kuburnya. Kita bisa tanya-tanya."
"Nah! Itu tuh di depan ada warung kelontong van."
Sahut Rahmat yang tidak meladeni ketusnya kata-kata Ivan.
Saat itu jam sudah menunjukan waktu shalat maghrib. Jeep yang kami tunggangi menepi ke warung kelontong dan juga menjual bensin eceran. Kami bertiga turun dari mobil, rasa lelah begitu terasa setelah perjalanan lebih dari 4 jam dari kota Pekalongan. Rahmat membeli bensin eceran sekalian bertanya-tanya ke pemilik warung tentang desa ini dan tanya letak rumah pak kades. Tentunya juga Rahmat menjelaskan tujuan kami datang ke desa ini untuk survey kegiatan KKN.
"Fad ini rokoknya cuma ada benthoel, sukun, djarum, sama sam soe? Pria punya sephia (gudang garam) kosong." Ucap Ivan menawarkan rokok ke saya yang lagi duduk di kursi kayu samping warung menghadap ke area kuburan dan pohon pinus.
"Sembarang van, ngikut saja aku."
Balas saya ke Ivan.
Ivan ikut duduk disamping saya, membuka bungkus rokok sam soe dan menyalakannya. Hawa dingin gini memang enak rokok kretek.
"Van menurut kamu tempat ini gimana? Ini diluar perkiraan saya van. Ternyata sejauh ini. Sepi juga ini desa." Saya berucap memandang ke arah Ivan.
"Lo kepikiran Gina yak? Hmm...gw sih juga berpikir kayak lo Fad. Yang gw khawatirin temen-temen kita yang cewek. Kalau tau tempat nya ternyata sejauh ini dan pelosok begini apa mereka betah?"
"Kalau Gina sih.."
"Eh ayo cabut ! Keburu makin malam."
Belum juga saya menjawab omongan Ivan tapi Rahmat sudah memotong. Nampaknya Rahmat sudah selesai bertanya-tanya ke pemilik warung kelontong.
Kami melanjutkan perjalanan menuju ke rumah pak kades. Lampu mobil harus dinyalakan karena hari sudah semakin gelap, kali ini saya yang menyetir. Ivan duduk di samping saya sedangkan Rahmat duduk di belakang. Disaat mau melintas jembatan yang sudah kelihatan tidak layak dan harus di renovasi tiba-tiba Ivan menarik handrem mobil sontak saya dan Rahmat agak sedikit kaget dengan apa yang dilakukan oleh Ivan.
"Kampret! Jangan dadakan dong van. Kaget tau!"
Ucap saya agak sedikit kesal.
"Ada apa van?"
Tanya Rahmat.
Mungkin hampir ada lima menit Ivan tidak menjawab kita berdua. Tapi pandangannya tajam ke arah depan, saya masih mengingat raut muka Ivan dari samping saat itu seperti apa. Seperti melihat sesuatu yang tidak saya lihat dan Rahmat lihat.
"Bismillah...ayo jalan lagi"
Mulut Ivan akhirnya terbuka berucap ke kita berdua.
Saya dan Rahmat saat itu tidak menanyakan langsung ke Ivan apa yang dia lihat atau yang dia rasakan. Yang jelas Ivan melihat sosok anak kecil berdiri di tepi jembatan hendak loncat ke sungai tapi dalam kondisi melayang. Bahkan saat kami melewatinya sosok tersebut masih ada. Itu yang Ivan katakan kepada kami setelah sampai di rumah kepala desa dan Ivan meminta malam itu tidak langsung pulang. Tapi menginap semalam di rumah pak kades.
Bersambung..
Belum ada Komentar untuk "Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 28"
Posting Komentar