Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 26

Warisan 1.4

Semangkin berkembangnya usaha saya, maka semangkin sering saya bolak-balik ke kota Pekalongan. Seperti biasa, jika saya ada keperluan di kota Pekalongan pasti selalu mampir di warung makan pak & bu Sugi (nama saya samarkan). Warung yang berada di seberang hotel Santika Pekalongan (salah satu hotel baru di pekalongan). Salah satu menu andalannya nasi koyor, tentu bagi warga Pekalongan sangat familiar sama warung ini. Warung yang selalu buka 24 jam.

Pasti kalian bingung ya sama part ini? Kenapa Pekalongan?? Part skip yang belum saya ceritakan membuat cerita ini mungkin agak sedikit membingungkan. Tapi nanti setelah part skip : part masa-masa KKN di pekalongan, part pantai utara, dan part sang dewi yang belum saya tulis. Semua nanti akan menyambungkan, maaf jika alurnya maju mundur. Oke, kembali ke cerita..

Pemilik warung makan ini sudah sangat akrab sama saya. Seringnya saya jajan disana ketika masa KKN menjadikan warung bu Sugi bagian dari cerita saya. beliau juga tau kisah saya ini tapi beliau lebih memilih untuk diam. Bahkan juru parkir di area warung makan juga mengenal saya.

"Terus terus..hop!",
Aba-aba juru parkir memberi instruksi saya yang memarkirkan mobil.

"Oalah mas Fadli tho. Wuih... makin sukses saja nih, mobilnya ganti lagi!", sapa pak juru parkir setelah tau siapa yang turun dari mobil sedan berwarna hitam.

"Salam pak, apa kabar pak? sehat pak?", tanya saya yang memberi salam ke pak juru parkir. Beliau hanya menganggukan kepala dan senyum-senyum sendiri melihat perubahan pada diri saya.

Saya langsung masuk ke warung dan memesan teh hangat plus mendoan sambel kecap. Cuaca yang panas membuat saya memilih duduk di luar dari pada di dalam.

"Eh mas Fadli. Sudah dari tadi apa barusan mas?", sapa putra bu Sugi yang baru datang ke warung.

"Mas sini mas duduk sama saya", balas saya ke mas Fitra (nama saya samarkan) yang masih duduk diatas motor belum juga melepas helm.

"Nanti ya mas, ini aku sama adek ku mau nganterin pesenan nasi bungkus dulu", jawabnya.

Oh ternyata itu yang membuat dirinya belum juga turun dari motor, gumam saya dalam hati. Saya membalasnya dengan senyuman. Tak lama kemudian mas Fitra kembali melajukan motornya meninggalkan warung bersama adiknya.

Tanpa saya sadari, ternyata dari tadi pak juru parkir berdiri disamping mobil saya sambil memperhatikan saya dengan senyum-senyum sendiri tidak jelas, rasanya cukup risih juga. Apa yang kalian lakukan jika di posisi saya? Apakah cuek? Atau menegur pak juru parkir tersebut apa maksudnya? Yang saya lakukan saat itu menegur dan menyuruhnya duduk di depan saya.

"Sini pak..", ucap saya melambaikan tangan ke arah pak juru parkir. Beliau bergegas langsung menghampiri saya.

"Ada apa pak dari tadi lihatin saya seperti itu?", tanya saya ke beliau yang memang saya sudah tidak merasa nyaman dibegitukan.

"Ya bapak kan sudah lama gak ketemu mas Fadli dan tiap kali ketemu mas Fadli selalu ada perubahan pada diri mas Fadli. Apa yang dulu mas lakukan sudah banyak perkembangannya? Maaf kalau saya lancang bertanya begini". Ucap beliau menjelaskan rasa penasarannya.

"Bapak mau minum apa? Apa sekalian makan?", tanya saya sebelum menjawab pertanyaannya. Mungkin karena merasa sungkan beliau hanya menganggukan kopi saja.

Entah karena saya yang memang terlalu kreatif mengarang kebohongan cerita ke beliau atau kepolosan beliau mendengar rangkaian cerita kebohongan yang saya sampaikan dengan apik. Beliau mempercayai cerita saya atau mungkin beliau percaya bahwa saya bercerita dusta ke beliau. Yang jelas saya bercerita bahwa laku ritual yang dulu saya lakukan hanyalah omong kosong belaka. Tidak ada hasilnya, saya menjelaskan kalau saya bisa berhasil seperti ini karena berusaha dan kerja keras. Tapi dari penjelasan saya, saya sama sekali tidak bercerita semua yang saya dapatkan ini melibatkan Tuhan.

Setelah mendengar cerita dari saya, beliau pamit ke saya untuk melanjuntukan tugasnya sebagai juru parkir. Melihat beliau berjalan meninggalkan saya, saya dalam hati berkata "pak saya minta maaf kalau barusan apa yang saya ceritakan semua kebohongan belaka. Saya hanya tidak ingin bapak tau kebenarannya dan ikut merasakan iba atas apa yang saya alami. Selain itu juga saya tidak bisa menerima kenyataan apa yang sudah terjadi".

Sekarang gantian saya yang melamun pandangan ke arah jalan raya. Teh hangat dan mendoan sambel kecap yang sudah terhidang di depan saya juga belum tersentuh sama sekali.

"Mas..mas Fadli..?", sapa pak Sugi membuyarkan lamunan saya.

"Eh pak Sugi. Maaf pak tadi lagi lihat ke arah jalan raya", jawab saya yang tanpa saya sadari beliau sudah duduk di depan saya.

"Kok kayaknya ada yang berat mas? Sini cerita sama bapak", ucap beliau menebak kondisi saya.

Kalau ditanya sama orang dengan kalimat seperti itu, sangat tepat apa yang saya rasakan. Tapi saya seringkali lebih menutup diri. Menceritakan hal lain. Begitu pula saat pak Sugi menanyakan hal tersebut ke saya. Kebetulan beliau ini juga tidak tau sudah beberapa kali duka yang saya rasakan. Ya semua itu juga karena saya tidak bercerita kecuali jika beliau menerawang saya, mungkin tau.

"Pak, beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke sahabat ayah saya. Nah ternyata ayah saya ini punya pendamping dan jumlahnya ada dua. Tapi kok saya tidak pernah melihat keberadaan mereka ya?", Ucap saya bercerita ke pak Sugi.

"Lho... kenapa tidak tanya ke ayah mas Fadli langsung? Kenapa harus lewat sahabat ayah mas Fadli?", tanya beliau yang heran. (Sekali lagi saya katakan, saya tidak pernah bercerita ke pak Sugi beberapa duka yang sudah saya alami. Saya menutupi nya.)

"Gak pak, saya enggak enak saja kalau harus bertanya langsung ke bapak saya. Saya cuma pengen tau kenapa saya tidak bisa melihatnya? Dan kenapa yang pernah melihatnya cuma ibu, kakak, dan mbak ipar saya. Kenapa saya tidak?".

"Hmmm... mungkin memang mas Fadli tidak dikehendaki sama mereka", jawab pak Sugi sambil menghembuskan asap rokok yang dihisapnya.

Pandangan saya kembali ke arah jalan raya. Jawaban pak Sugi membuat saya bertanya-tanya pada diri sendiri. Belum juga saya berucap apa yang di jawab oleh beliau, beliau bertanya ke saya;

"Apa mungkin ini kejadiannya sama kayak noni mas??", kebetulan kalau soal noni beliau tau. Tapi pak Sugi tidak pernah melihat sosok noni. Hanya merasakan kehadirannya saat itu.

"Maksud bapak..?", Pertanyaan balik saya lontarkan pertanyaan.

"Ya... mungkin.. pendamping ayahnya mas Fadli ini sejenis noni yang tidak ingkar kepada ALLAH. Jadi mas Fadli..", Jawab beliau ragu. Mungkin merasa sungkan pada saya. Dan belum selesai beliau bicara sudah saya potong.

"Tidak bisa melihatnya gitu pak?? Maksudnya itu kah yang bapak sampaikan?", Langsung seketika tangan dan leher saya merasa merinding.

Ya saya merinding karena saya tau maksud dari pak Sugi. Kedua pendamping alm.bapak tidak akan bisa saya lihat. Karena mereka bukan-lah yang ingkar kepada-NYA. Dan saya sudah masuk dalam golongan yang ingkar kepada-NYA. Naudzubillah...

Kepala saya tundukan ke arah bawah. Menetes air mata ini tanpa bisa saya bendung lagi begitu saya sadari kebodohan apa yang sudah saya perbuat di masa itu. Rasa penasaran dan tidak percaya akan hal semacam itu membuat diri ini merasa paling bodoh yang pernah hidup.


"Ya Rahman...Ya Rahiim...Ya Malik... apa yang sudah hamba lakukan??"

jika pintu tobat masih terbuka untuk mu, maka segerakanlah melangkah ke jalan yang benar. Sebelum pintu itu benar benar tertutup rapat untuk mu..


Belum ada Komentar untuk "Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 26"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel