Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 26
Kamis, 19 Desember 2019
Tulis Komentar
Warisan 1.4
Semangkin berkembangnya usaha saya,
maka semangkin sering saya bolak-balik ke kota Pekalongan. Seperti biasa, jika saya
ada keperluan di kota Pekalongan pasti selalu mampir di warung makan pak &
bu Sugi (nama saya samarkan). Warung yang berada di seberang hotel Santika Pekalongan (salah satu hotel baru di pekalongan). Salah satu menu andalannya
nasi koyor, tentu bagi warga Pekalongan sangat familiar sama warung ini. Warung
yang selalu buka 24 jam.
Pasti kalian bingung ya sama part
ini? Kenapa Pekalongan?? Part skip yang belum saya ceritakan membuat cerita
ini mungkin agak sedikit membingungkan. Tapi nanti setelah part skip : part masa-masa KKN di pekalongan, part pantai utara, dan part sang dewi yang belum saya
tulis. Semua nanti akan menyambungkan, maaf jika alurnya maju mundur. Oke,
kembali ke cerita..
Pemilik warung makan ini sudah
sangat akrab sama saya. Seringnya saya jajan disana ketika masa KKN menjadikan
warung bu Sugi bagian dari cerita saya. beliau juga tau kisah saya ini tapi beliau
lebih memilih untuk diam. Bahkan juru parkir di area warung makan juga mengenal
saya.
"Terus terus..hop!",
Aba-aba juru parkir memberi
instruksi saya yang memarkirkan mobil.
"Oalah mas Fadli tho.
Wuih... makin sukses saja nih, mobilnya ganti lagi!", sapa pak juru parkir setelah tau
siapa yang turun dari mobil sedan berwarna hitam.
"Salam pak, apa kabar pak?
sehat pak?", tanya saya yang memberi salam ke
pak juru parkir. Beliau hanya menganggukan kepala dan senyum-senyum sendiri melihat
perubahan pada diri saya.
Saya langsung masuk ke warung dan
memesan teh hangat plus mendoan sambel kecap. Cuaca yang panas membuat saya
memilih duduk di luar dari pada di dalam.
"Eh mas Fadli. Sudah dari tadi apa barusan mas?", sapa putra bu Sugi yang baru
datang ke warung.
"Mas sini mas duduk sama
saya", balas saya ke mas Fitra (nama
saya samarkan) yang masih duduk diatas motor belum juga melepas helm.
"Nanti ya mas, ini aku sama
adek ku mau nganterin pesenan nasi bungkus dulu", jawabnya.
Oh ternyata itu yang membuat
dirinya belum juga turun dari motor, gumam saya dalam hati. Saya membalasnya
dengan senyuman. Tak lama kemudian mas Fitra kembali melajukan motornya
meninggalkan warung bersama adiknya.
Tanpa saya sadari, ternyata dari
tadi pak juru parkir berdiri disamping mobil saya sambil memperhatikan saya
dengan senyum-senyum sendiri tidak jelas, rasanya cukup risih juga. Apa yang kalian lakukan jika di posisi saya? Apakah cuek? Atau menegur pak juru parkir tersebut
apa maksudnya? Yang saya lakukan saat itu menegur dan menyuruhnya duduk di
depan saya.
"Sini pak..", ucap saya melambaikan tangan ke
arah pak juru parkir. Beliau bergegas langsung menghampiri saya.
"Ada apa pak dari tadi
lihatin saya seperti itu?", tanya saya ke beliau yang memang
saya sudah tidak merasa nyaman dibegitukan.
"Ya bapak kan sudah lama gak
ketemu mas Fadli dan tiap kali ketemu mas Fadli selalu ada perubahan pada diri
mas Fadli. Apa yang dulu mas lakukan sudah banyak perkembangannya? Maaf kalau
saya lancang bertanya begini". Ucap beliau menjelaskan rasa
penasarannya.
"Bapak mau minum apa? Apa
sekalian makan?", tanya saya sebelum menjawab
pertanyaannya. Mungkin karena merasa sungkan beliau hanya menganggukan kopi
saja.
Entah karena saya yang memang
terlalu kreatif mengarang kebohongan cerita ke beliau atau kepolosan beliau
mendengar rangkaian cerita kebohongan yang saya sampaikan dengan apik. Beliau
mempercayai cerita saya atau mungkin beliau percaya bahwa saya bercerita dusta
ke beliau. Yang jelas saya bercerita bahwa laku ritual yang dulu saya lakukan
hanyalah omong kosong belaka. Tidak ada hasilnya, saya menjelaskan kalau saya
bisa berhasil seperti ini karena berusaha dan kerja keras. Tapi dari penjelasan
saya, saya sama sekali tidak bercerita semua yang saya dapatkan ini melibatkan
Tuhan.
Setelah mendengar cerita dari
saya, beliau pamit ke saya untuk melanjuntukan tugasnya sebagai juru parkir.
Melihat beliau berjalan meninggalkan saya, saya dalam hati berkata "pak
saya minta maaf kalau barusan apa yang saya ceritakan semua kebohongan belaka.
Saya hanya tidak ingin bapak tau kebenarannya dan ikut merasakan iba atas apa yang
saya alami. Selain itu juga saya tidak bisa menerima kenyataan apa yang sudah
terjadi".
Sekarang gantian saya yang
melamun pandangan ke arah jalan raya. Teh hangat dan mendoan sambel kecap yang
sudah terhidang di depan saya juga belum tersentuh sama sekali.
"Mas..mas Fadli..?", sapa pak Sugi membuyarkan lamunan
saya.
"Eh pak Sugi. Maaf pak tadi lagi lihat ke arah jalan raya", jawab saya yang tanpa saya sadari
beliau sudah duduk di depan saya.
"Kok kayaknya ada yang berat
mas? Sini cerita sama bapak", ucap beliau menebak kondisi saya.
Kalau ditanya sama orang dengan
kalimat seperti itu, sangat tepat apa yang saya rasakan. Tapi saya seringkali
lebih menutup diri. Menceritakan hal lain. Begitu pula saat pak Sugi menanyakan
hal tersebut ke saya. Kebetulan beliau ini juga tidak tau sudah beberapa kali
duka yang saya rasakan. Ya semua itu juga karena saya tidak bercerita kecuali
jika beliau menerawang saya, mungkin tau.
"Pak, beberapa waktu yang
lalu saya berkunjung ke sahabat ayah saya. Nah ternyata ayah saya ini punya
pendamping dan jumlahnya ada dua. Tapi kok saya tidak pernah melihat keberadaan
mereka ya?", Ucap saya bercerita ke pak Sugi.
"Lho... kenapa tidak tanya ke
ayah mas Fadli langsung? Kenapa harus lewat sahabat ayah mas Fadli?", tanya beliau yang heran. (Sekali lagi
saya katakan, saya tidak pernah bercerita ke pak Sugi beberapa duka yang sudah
saya alami. Saya menutupi nya.)
"Gak pak, saya enggak enak
saja kalau harus bertanya langsung ke bapak saya. Saya cuma pengen tau kenapa
saya tidak bisa melihatnya? Dan kenapa yang pernah melihatnya cuma ibu, kakak,
dan mbak ipar saya. Kenapa saya tidak?".
"Hmmm... mungkin memang mas Fadli
tidak dikehendaki sama mereka", jawab pak Sugi sambil
menghembuskan asap rokok yang dihisapnya.
Pandangan saya kembali ke arah
jalan raya. Jawaban pak Sugi membuat saya bertanya-tanya pada diri sendiri.
Belum juga saya berucap apa yang di jawab oleh beliau, beliau bertanya ke saya;
"Apa mungkin ini kejadiannya
sama kayak noni mas??", kebetulan kalau soal noni beliau
tau. Tapi pak Sugi tidak pernah melihat sosok noni. Hanya merasakan kehadirannya
saat itu.
"Maksud bapak..?", Pertanyaan balik saya lontarkan
pertanyaan.
"Ya... mungkin.. pendamping
ayahnya mas Fadli ini sejenis noni yang tidak ingkar kepada ALLAH. Jadi mas Fadli..", Jawab beliau ragu. Mungkin merasa
sungkan pada saya. Dan belum selesai beliau bicara sudah saya potong.
"Tidak bisa melihatnya gitu
pak?? Maksudnya itu kah yang bapak sampaikan?", Langsung seketika tangan dan
leher saya merasa merinding.
Ya saya merinding karena saya tau
maksud dari pak Sugi. Kedua pendamping alm.bapak tidak akan bisa saya lihat.
Karena mereka bukan-lah yang ingkar kepada-NYA. Dan saya sudah masuk dalam
golongan yang ingkar kepada-NYA. Naudzubillah...
Kepala saya tundukan ke arah
bawah. Menetes air mata ini tanpa bisa saya bendung lagi begitu saya sadari
kebodohan apa yang sudah saya perbuat di masa itu. Rasa penasaran dan tidak
percaya akan hal semacam itu membuat diri ini merasa paling bodoh yang pernah
hidup.
"Ya Rahman...Ya Rahiim...Ya
Malik... apa yang sudah hamba lakukan??"
jika pintu tobat masih terbuka untuk mu, maka segerakanlah melangkah ke jalan yang benar. Sebelum pintu itu benar benar tertutup rapat untuk mu..
Belum ada Komentar untuk "Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 26"
Posting Komentar