Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 25

Warisan 1.3

"Omong kosong! Nyatanya saya tidak merasakan kehadiran mereka!", Umpat saya ngomong sendiri begitu sampai rumah.

Semenjak bapak saya meninggal, rumah dua lantai ini terlihat sepi. Biasanya malam begini alm.bapak semasa hidupnya sering menghabiskan waktunya di teras membaca buku sambil merokok. Tapi pemandangan itu sudah tidak ada lagi. Yang terlihat pintu depan tertutup rapat dan lampu ruang tamu yang gelap. Hanya saya, ibu, mbak PRT, dan sopir ibu (tapi kalau malam pulang) yang tinggal di rumah ini. Kalau kakak saya sementara tinggal di pondok mertua indah.

"Walaikum salam..",
Ucap ibu yang tau saya sudah masuk ke dalam rumah. Padahal saya tidak mengucapkan salam. Itu sudah menjadi kebiasaan saya semenjak kejadian beberapa tahun yang lalu.

"Habis dari mana dek?",
Tanya ibu yang lagi santai duduk di ruang keluarga.

"Habis dari rumahnya pak Giyono bu",
Jawab saya yang berjalan ke arah dapur mengambil minum.

"Ada urusan apa dek ke rumah pak Giyono?",

"Duduk sini dek sama ibu",
Belum juga saya menjawab pertanyaan ibu tapi saya sudah diperintahkan duduk di ruang keluarga bersamanya.

Begitu saya sudah duduk bersebelahan dengan ibu, tv dimatikan oleh beliau melalui remote. Nampaknya ada pembicaraan cukup serius yang mau di sampaikan ibu.

"Ada urusan apa dek ke rumah pak Giyono?",
Ibu mengulangi pertanyaannya lagi.

"Ohh cuma sowan saja kok bu..",
Jawab saya yang mencoba menutupi.

"Tidak mungkin, pasti ada hal lain. Ibu itu orang tua kamu. Jadi kalau ada yang kamu tutupi, ibu pasti merasakan." Ucap beliau yang tidak puas dengan jawaban saya.

"Hmm..ibu ingat pas pemakaman bapak? Aku bincang-bincang sama pak Giyono soal jatah kursi di partai yang bapak ikutin. Makanya aku datang ke rumah pak Giyono ngomongin hal itu." Jawab saya makin lihai berbohong.

"Haha le..le... ibu mu kok meh mbok apusi. Jelas-jelas bapak mu sama pak Giyono beda partai. Dan bapak mu itu provinsi. Kalau pak Giyono itu kabupaten. Ayo ngoceh'o sing jujur !", Ibu saya kelihatan puas me-skakmat saya yang ketahuan bohong.

Sumpah rasanya saat itu saya malu ketahuan bohong. Sok-sok'an nutupi, sok gagah, sok laki-laki, eh... tapi ketahuan bohongnya. Saya diam karena malu.

"Kamu tau hubungannya pak Giyono sama bapak sedekat apa?", Ibu berusaha mencairkan suasana dan tidak menuntut jawaban/penjelasan kejujuran dari saya.

"Sahabat kan bu?",

"Betul.. dulu pas ibu hamil kamu, pak Giyono pernah nembung ibu sama bapak mu untuk meminta kamu. Jadi kamu mau diminta sama pak Giyono pas kamu lahir. Tapi ibu sama bapak menolaknya. Bahkan pak Giyono hampir tiap hari main ke rumah berniat mengambil hati ibu sama bapak mu supaya berubah pikiran".

Mendengar cerita dari ibu saya jadi membayangkan, "kenapa ibu tidak mau? Ah.. andai saja saya jadi anak angkatnya, pasti hidup saya enak. Secara pak Giyono itu balungan orang kaya. Dan saya bisa mewarisi harta kekayaannya kalau beliau sudah meninggal". 

Entah kenapa saat itu saya bisa berpikiran seperti itu. Brengsek emang, bajingan juga saya bisa berpikir seperti itu dan sungguh tidak bersyukurnya diri ini. Sekarang saya bisa berkata begini, dulu berkata begitu. Mendengar penjelasan ibu saya jadi tersenyum sendiri tidak jelas.

"Pasti kamu berpikiran kok gak dikasihkan saja tho??", Tanya ibu yang menebak isi pikiran saya.

"Hahahaa.. wah ibu harusnya ikhlas memberikan aku ke pak Giyono saat itu", jawab saya bercanda.

"Ooo bocah sableng!", Ucap ibu sambil tersenyum kemudian berjalan masuk ke arah kamar. Saya belum beranjak dari sofa di ruang keluarga. Tubuh saya rebahkan di sofa sambil berangan-angan kalau cerita ibu menjadi kenyataan, kalau saat itu saya di asuh pak Giyono dan keluarga nya.

"Ternyata dulu begitu toh. Hampir saja kejadian saya menjadi anak orang kaya sejak lahir hahahaa brengsek emang pikiran ini", Ucap saya pada diri sendiri.

Saya menyalakan lagu didi kempot di alat pemutar cd. Alunan lagu sewu kuto mengantarkan saya terlelap tidur di sofa ruang keluarga. Sekitar jam 01.00 seingat saya, saya terbangun. Ruangan keluarga sudah gelap. Hanya lampu dapur dan lampu tangga arah naik ke lantai atas yang menyala. Cd didi kempot yang saya putar juga sudah berhenti.

"Kok tumben ya gak ada yang bangunin supaya pindah ke kamar", Gumam saya. Begitu bangun saya tidak langsung beranjak dari sofa. Masih duduk ngumpulin nyawa. Kipas yang masih menyala mengenai tubuh ini jadi merasa dingin.

Sebenarnya bukan hawa dingin yang saya rasakan. Tapi hawa merinding. Saya hanya berpikir positif untuk menepis yang saya rasakan. Ya saya merasakan ada yang mengawasi saya dari arah dapur dan taman belakang rumah.

Jadi posisi arah dapur itu ada di serong kanan belakang saya. Kalau taman belakang tepat beberapa meter dibelakang saya. Walaupun saya tidak melihat ke arah yang saya maksud tapi rasanya benar-benar kuat aura nya.


"Kalau ini benar-benar kalian yang pernah ikut alm.bapak saya, mohon jangan ganggu saya!", ucap saya lumayan keras ke "mereka" yang seperti mengawasi saya.

Seketika hawa yang saya rasakan berubah normal kembali. Ada perasaan lega yang saya rasakan. Saya melanjutkan tidur di dalam kamar.

Seperti biasa setiap adzan subuh, ibu selalu membangunkan saya untuk subuhan di masjid. Mau pura-pura masih tidur juga rasanya tidak mungkin karena kalau saya tidak bangun-bangun maka yang terjadi ibu saya mengambil ember yang sudah berisi air dan mengguyurkan ke saya. 

Hal itu pernah terjadi, saya tidak mau mengulangi yang kedua kali. Maka akal saya adalah harus bangun, kemudian pura-pura wudhu padahal cuma basahi tangan, muka, dan kaki doang, setelah itu pakai sarung ikut keluar rumah, sampai di perempatan dekat masjid saya balik arah (hahahaa jangan ditiru).

Tapi saya tidak langsung pulang ke rumah. Nunggu shalat subuh dimulai, setelah saya tau suara siapa imamnya saat itu baru saya pulang ke rumah. Kenapa saya lakukan hal tersebut? Karena nanti begitu ibu saya sampai rumah pasti akan bertanya ke saya siapa imamnya tadi shalat subuh? Maka saya bisa menjawabnya, ini sudah menjadi rutinitas akal-akalan saya.

Tolong apa yang pernah saya lakukan jangan ditiru, semua menjadi begini karena saya yang memulai. Saya cuma tidak ingin ibu saya tau bahkan sampai detik ini pun beliau tidak tau apa yang telah saya lakukan dulu. Setidaknya ini yang bisa saya ceritakan di part warisan 1.3.



Belum ada Komentar untuk "Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 25"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel