Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 25
Selasa, 17 Desember 2019
Tulis Komentar
Warisan
1.3
"Omong
kosong! Nyatanya saya tidak merasakan kehadiran mereka!", Umpat saya
ngomong sendiri begitu sampai rumah.
Semenjak
bapak saya meninggal, rumah dua lantai ini terlihat sepi. Biasanya malam
begini alm.bapak semasa hidupnya sering menghabiskan waktunya di teras membaca
buku sambil merokok. Tapi pemandangan itu sudah tidak ada lagi. Yang terlihat
pintu depan tertutup rapat dan lampu ruang tamu yang gelap. Hanya saya, ibu,
mbak PRT, dan sopir ibu (tapi kalau malam pulang) yang tinggal di rumah ini.
Kalau kakak saya sementara tinggal di pondok mertua indah.
"Walaikum
salam..",
Ucap
ibu yang tau saya sudah masuk ke dalam rumah. Padahal saya tidak mengucapkan
salam. Itu sudah menjadi kebiasaan saya semenjak kejadian beberapa tahun yang
lalu.
"Habis
dari mana dek?",
Tanya
ibu yang lagi santai duduk di ruang keluarga.
"Habis
dari rumahnya pak Giyono bu",
Jawab
saya yang berjalan ke arah dapur mengambil minum.
"Ada
urusan apa dek ke rumah pak Giyono?",
"Duduk
sini dek sama ibu",
Belum
juga saya menjawab pertanyaan ibu tapi saya sudah diperintahkan duduk di ruang
keluarga bersamanya.
Begitu
saya sudah duduk bersebelahan dengan ibu, tv dimatikan oleh beliau melalui
remote. Nampaknya ada pembicaraan cukup serius yang mau di sampaikan ibu.
"Ada
urusan apa dek ke rumah pak Giyono?",
Ibu
mengulangi pertanyaannya lagi.
"Ohh
cuma sowan saja kok bu..",
Jawab
saya yang mencoba menutupi.
"Tidak
mungkin, pasti ada hal lain. Ibu itu orang tua kamu. Jadi kalau ada yang kamu
tutupi, ibu pasti merasakan." Ucap
beliau yang tidak puas dengan jawaban saya.
"Hmm..ibu
ingat pas pemakaman bapak? Aku bincang-bincang sama pak Giyono soal jatah kursi di
partai yang bapak ikutin. Makanya aku datang ke rumah pak Giyono ngomongin hal
itu." Jawab
saya makin lihai berbohong.
"Haha
le..le... ibu mu kok meh mbok apusi. Jelas-jelas bapak mu sama pak Giyono beda
partai. Dan bapak mu itu provinsi. Kalau pak Giyono itu kabupaten. Ayo ngoceh'o
sing jujur !", Ibu
saya kelihatan puas me-skakmat saya yang ketahuan bohong.
Sumpah
rasanya saat itu saya malu ketahuan bohong. Sok-sok'an nutupi, sok gagah, sok
laki-laki, eh... tapi ketahuan bohongnya. Saya diam karena malu.
"Kamu
tau hubungannya pak Giyono sama bapak sedekat apa?", Ibu
berusaha mencairkan suasana dan tidak menuntut jawaban/penjelasan kejujuran
dari saya.
"Sahabat
kan bu?",
"Betul..
dulu pas ibu hamil kamu, pak Giyono pernah nembung ibu sama bapak mu untuk
meminta kamu. Jadi kamu mau diminta sama pak Giyono pas kamu lahir. Tapi ibu
sama bapak menolaknya. Bahkan pak Giyono hampir tiap hari main ke rumah berniat
mengambil hati ibu sama bapak mu supaya berubah pikiran".
Mendengar
cerita dari ibu saya jadi membayangkan, "kenapa ibu tidak mau? Ah.. andai
saja saya jadi anak angkatnya, pasti hidup saya enak. Secara pak Giyono itu balungan
orang kaya. Dan saya bisa mewarisi harta kekayaannya kalau beliau sudah meninggal".
Entah kenapa saat itu saya bisa berpikiran seperti itu. Brengsek emang, bajingan
juga saya bisa berpikir seperti itu dan sungguh tidak bersyukurnya diri ini.
Sekarang saya bisa berkata begini, dulu berkata begitu. Mendengar penjelasan
ibu saya jadi tersenyum sendiri tidak jelas.
"Pasti
kamu berpikiran kok gak dikasihkan saja tho??", Tanya
ibu yang menebak isi pikiran saya.
"Hahahaa..
wah ibu harusnya ikhlas memberikan aku ke pak Giyono saat itu", jawab
saya bercanda.
"Ooo
bocah sableng!", Ucap
ibu sambil tersenyum kemudian berjalan masuk ke arah kamar. Saya
belum beranjak dari sofa di ruang keluarga. Tubuh saya rebahkan di sofa sambil
berangan-angan kalau cerita ibu menjadi kenyataan, kalau saat itu saya di asuh
pak Giyono dan keluarga nya.
"Ternyata
dulu begitu toh. Hampir saja kejadian saya menjadi anak orang kaya sejak lahir
hahahaa brengsek emang pikiran ini", Ucap
saya pada diri sendiri.
Saya
menyalakan lagu didi kempot di alat pemutar cd. Alunan lagu sewu kuto mengantarkan
saya terlelap tidur di sofa ruang keluarga. Sekitar jam 01.00 seingat saya,
saya terbangun. Ruangan keluarga sudah gelap. Hanya lampu dapur dan lampu
tangga arah naik ke lantai atas yang menyala. Cd didi kempot yang saya putar
juga sudah berhenti.
"Kok
tumben ya gak ada yang bangunin supaya pindah ke kamar", Gumam
saya. Begitu
bangun saya tidak langsung beranjak dari sofa. Masih duduk ngumpulin nyawa.
Kipas yang masih menyala mengenai tubuh ini jadi merasa dingin.
Sebenarnya bukan
hawa dingin yang saya rasakan. Tapi hawa merinding. Saya hanya berpikir positif
untuk menepis yang saya rasakan. Ya saya merasakan ada yang mengawasi saya dari
arah dapur dan taman belakang rumah.
Jadi posisi arah dapur itu ada di serong
kanan belakang saya. Kalau taman belakang tepat beberapa meter dibelakang saya.
Walaupun saya tidak melihat ke arah yang saya maksud tapi rasanya benar-benar kuat
aura nya.
"Kalau
ini benar-benar kalian yang pernah ikut alm.bapak saya, mohon jangan ganggu saya!", ucap
saya lumayan keras ke "mereka" yang seperti mengawasi saya.
Seketika
hawa yang saya rasakan berubah normal kembali. Ada perasaan lega yang saya
rasakan. Saya melanjutkan tidur di dalam kamar.
Seperti
biasa setiap adzan subuh, ibu selalu membangunkan saya untuk subuhan di masjid.
Mau pura-pura masih tidur juga rasanya tidak mungkin karena kalau saya tidak bangun-bangun maka yang terjadi ibu saya mengambil ember yang sudah berisi air dan mengguyurkan
ke saya.
Hal itu pernah terjadi, saya tidak mau mengulangi yang kedua kali.
Maka akal saya adalah harus bangun, kemudian pura-pura wudhu padahal cuma basahi
tangan, muka, dan kaki doang, setelah itu pakai sarung ikut keluar rumah,
sampai di perempatan dekat masjid saya balik arah (hahahaa jangan ditiru).
Tapi saya tidak langsung pulang ke rumah. Nunggu shalat subuh dimulai, setelah
saya tau suara siapa imamnya saat itu baru saya pulang ke rumah. Kenapa saya
lakukan hal tersebut? Karena nanti begitu ibu saya sampai rumah pasti akan
bertanya ke saya siapa imamnya tadi shalat subuh? Maka saya bisa menjawabnya, ini sudah menjadi rutinitas akal-akalan saya.
Tolong
apa yang pernah saya lakukan jangan ditiru, semua menjadi begini karena saya yang
memulai. Saya cuma tidak ingin ibu saya tau bahkan sampai detik ini pun beliau
tidak tau apa yang telah saya lakukan dulu. Setidaknya ini yang bisa saya
ceritakan di part warisan 1.3.
Belum ada Komentar untuk "Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 25"
Posting Komentar