Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 24

Warisan 1.2
Bisa dikatakan ini warisan mas.. warisan dari bapak mas Fadli, entah mas fadli siap atau tidak siap, bisa melihat atau tidak, tapi ini tetap harus di berikan ke garis keturunan keluarga alm.bapak mas Fadli". "Maksud bapak apa?" Tanya saya ke beliau karena belum mengerti maksudnya. "Kalau ini kebaikan mas Fadli mau menerima? Tapi kalau ini masih samar, apa mas Fadli juga mau menerima??" Ucap beliau.
Lanjutan...

Suguhan yang baru saja datang dibelikan PRT pak Giyono tidak membuat saya berselera. Saya lebih penasaran warisan apa yang dimaksud oleh pak Giyono. Penjelasan di mulai ketika pak Giyono mengenal alm.bapak sampai beliau meninggal. Tanpa basa basi lebih jauh, beliau menceritakan masalah dewan sampai ke soal pengikut/pendamping disaat alm.bapak masih hidup.

"Kurang lebih itu yang saya tau dari alm.bapak mas Fadli."
Ucap beliau sambil menawarkan rokok kretek ke saya.

"Tidak pak, saya bawa rokok sendiri."

"Tapi pak, saya tidak percaya kalau alm.bapak saya percaya sama hal begituan. Lagian kalau pun ada, saya tidak pernah melihat yang mendampingi alm.bapak." Jawab saya mencoba menepis penjelasan beliau.

"Iya saya juga tau hal itu mas. Alm.bapak sampeyan pernah bercerita ke saya kalau di lingkup keluarga cuma mas Fadli yang tidak pernah melihat. Tapi ibu, mas, dan mbak ipar mas Fadli pernah melihat."

"Bahkan wujudnya sudah hadir dari tadi disini, Bersama kita!"
Mendengar pernyataan pak giyono saat itu dengan polosnya saya langsung berdiri melihat ke arah belakang beliau tapi tidak ada. Saya menoleh ke arah kanan dan kiri saya juga tidak ada.

"Mana pak? Kok tidak ada?? Bapak bercanda ah hhe"
Saya memang belum melihatnya.


"Terus kenapa saya tidak pernah melihatnya pak?"
Belum juga pertanyaan saya yang tadi dijawab, saya sudah mengajukan pertanyaan lagi.

"Belum saatnya mas Fadli melihat. Tapi setelah mas Fadli keluar dari rumah ini, mereka berdua akan ikut."
Jawab beliau.

"Oke mungkin saya tidak melihatnya. Tapi kenapa bapak bilang kalau ini sesuatu hal yang baik atau buruk, saya mau menerimanya apa tidak sebagai warisan? Toh nyatanya seperti yang bapak bilang mereka akan tetap ikut. Jumlahnya dua pula. Sama saja saya tidak punya pilihan lain dong pak."
Protes saya ini malah membuat pak Giyono tersenyum geli.

"Biar mas Fadli sendiri yang menilai hee.."
Jawab beliau.

Mendengar penjelasan pak Giyono, saya tidak langsung mempercayainya. Saya berpikir beliau mungkin sedang bercanda. Lagi pula saya tidak pernah melihatnya. Kalau pun misal ada beneran, kenapa semasa hidup alm.bapak tidak pernah bercerita? Ibu, mas saya, dan mbak ipar juga tidak pernah ada cerita. Bagi saya sekarang soal pendamping atau bawaan itu sudah tidak penting lagi. Saya lebih suka memperkaya diri. Mata dan batin ini sudah gelap hanya mengejar duniawi. Saat itu saya tidak tertarik apa pun selain materi. Bahkan agama sudah saya jauhi.

"Mas Fadli..mas percaya sama pesugihan?"
Kalimat pertanyaan yang terlontar dari mulut pak Giyono sempat membuat saya salah tingkah. Padahal beliau hanya sekedar bertanya.

"Hmmm...ah tidak ada kayaknya pak semacam itu"

"Lalu kenapa mas Fadli bisa sejauh ini?"
Pertanyaan dari pak Giyono kali ini memang ditunjukan ke saya. Mendengarnya, rasanya kayak ditampar secara langsung oleh beliau. Saya berpikir mungkin beliau hanya menebak -nebak.

"Maksud bapak apa??"
Pertanyaan kembali saya lontarkan pertanyaan. Hampir kurang lebih 5 menit beliau diam tidak ada jawaban. Hanya melirik saya.

"Tenang mas, bapak disini bukan mau menelanjangi mas Fadli dengan pertanyaan bapak barusan. Bapak disini hadir sebagai sahabat alm.bapak nya mas Fadli. Bapak bisa tau karena aura mas Fadli sudah berbeda. Kalau mas Fadli mengira saya hanya menebak saja, bapak berani bertaruh ke mas Fadli, bapak ajak shalat isya jamaah di rumah pasti mas Fadli bakal menolak dengan berbagai alasan."
Mendengar ucapan beliau rasanya saya pengen segera pamit undur diri.

"Maaf mas Fadli, bapak hanya ingin membantu. Sebelum ini makin jauh lagi."

"Sebenarnya tujuan bapak meminta saya bertamu kesini apa pak??"
Tanya saya ke beliau. Entah kenapa saya merasa kecewa sudah datang ke rumahnya.

Beliau dengan serius menjelaskan tujuan meminta saya datang ke rumahnya. Tapi saya mendengar penjelasan beliau hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Saat itu saya tidak tertarik sedikitpun tawaran bantuan dari beliau. Bahkan saya juga tidak tertarik menanyakan kenapa beliau bisa berucap seperti itu? Apa yang beliau tau? Saya tidak tertarik menanyakan. Saya cuma tertarik menikmati wedang ronde dan martabak telor yang ada di depan saya. Sifat saya malam itu sudah cukup menunjukan bahwa saya tidak menggubris sama sekali ucapan pak Giyono. Mungkin kalau beliau ngomong menawarkan peluang usaha yang bisa menghasilkan rupiah saya akan tertarik.

"Maaf pak kalau saya lancang, saya mohon pamit pulang dulu."
Belum juga beliau berhenti berbicara tapi saya memotong pembicaraan minta ijin pamit ke beliau. Mungkin kalau saya bukan anak dari sahabat pak giyono yaitu alm.bapak, saat itu juga bisa digampar kali ya.

"Baik, kalau mas Fadli mau pulang. Saya cuma berpesan kalau mas Fadli butuh bapak, bapak selalu siap membantu mas Fadli."
Masih dengan ramah beliau menawarkan bantuan. Walaupun saya tau saat itu beliau kecewa.

"Terimakasih atas jamuannya pak.."

"Oh ya soal warisan dari bapak apa benar ikut saya pulang?"
Tanya saya ke beliau yang sudah berdiri.

Beliau menjawab dengan menganggukan kepala. Saya melangkah keluar dari rumah beliau. Di dalam mobil saya tidak langsung pergi tapi masih memperhatikan beliau yang berdiri di pagar rumah menunggu saya pulang.

"Wong tuo sok bijak! Omong kosong tai kebo! Rugi aku teko rene cuma dengerin ceramah! (Translate : orang tua sok bijak! Rugi saya datang kesini cuma dengar ceramah!). Umpat saya di dalam mobil yang entah terdengar oleh beliau atau tidak. Syukur-syukur beliau mendengarnya.

Sungguh hal tersebut tidaklah pantas baik di ucapkan secara langsung atau tidak langsung ke orang tua atau orang yang umurnya jauh lebih tua dari kita. Janganlah ditiru apa yang saya lakukan. Hormatilah secara pantas. Sampai detik ini saya menyesal pernah mengumpat beliau seperti itu. Salah satu orang yang membantu saya dengan tulus kini sudah meninggal di awal tahun 2017. Di hari pemakaman beliau saya sempatkan hadir. Saya memegang batu nisan beliau dan berucap dalam batin "terimakasih banyak pak sudah membantu saya kembali ke jalan yang benar. Saya akan selalu ingat kata-kata bapak, setiap langkahmu ucapkan lah Ridho Allah dan minta lah pangestu nya. Selamat jalan pak.."

Belum ada Komentar untuk "Berawal Dari Penasaran Hingga Menjadi Fatal - Part 24"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel